Jumat, 14 Januari 2011

Hati Yang Terbaik


Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,
“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.”Hilyah al-Auliya 1/70-80).


Hati yang Terbaik
Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini, adalah suatu wasiat yang terkenal di kalangan para ulama yang menjelaskan kategori manusia.
Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi oleh pemahaman terhadap Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka yang memahami Al Qur-an dan sunnah rasul-Nya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala untuk memperoleh kebaikan sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).
Pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, rasulullah menyebutkan lafadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas. Seakan-akan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.
Dari hadits di atas juga, kita dapat memahami bahwasanya mereka yang enggan mempelajari agama Allah ta’a a, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh kebaikan.
Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan,
“Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).


Sang Alim Rabbani
Kemudian khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan bahwasanya manusia terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah عالم رباني seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan dan menyebarkan ilmunya. Karena seorang alim rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh imam Mujahid rahimahullah ta’ala,
”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” (Tafsir Al Qurthubi 4/119).
Maka, seorang rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu  yang benar yaitu yang berupa Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rahimahullah
Setiap ilmu selain Al Qur-an akan menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih
Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu yang berdasar kepada wahyu)
Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan syaithan semata (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).
Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah ilmu yang mereka ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat hingga mereka mengamalkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi manusia namun justru membakar dirinya sendiri.” (Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).
Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan
Jika kita bukan termasuk kategori yang pertama, maka hendaknya kita menjadi orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai seorang yang mau belajar dan orang inilah orang yang berada di atas jalan keselamatan.
Maka benarlah apa yang beliau katakan, karena sesungguhnya seorang yang terus mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju surga sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor 2699).
Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة  orang yang berada di atas jalan keselamatan.

Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)
Adapun orang yang selain kedua golongan ini. Maka hal ini adalah sesuatu yang memalukan dan sangat berbahaya.
Kata beliau mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang berkomentar dan mengikuti kemana arah angin bertiup.
Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan mengikutinya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak memiliki pendirian, ketegasan sikap karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia adalah seorang yang bingung.
Maka beliau katakan bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti kemana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang kokoh dan kuat sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi dan bisa jadi dia celaka dikarenakan hal tersebut.
Persis seperti kejadian yang terjadi di masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada seorang yang terlempar dari untanya, maka kepalanya pun terluka. Namun pada malam hari, dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam kondisi junub. Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap dikarenakan minimnya ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di sampng kanan dan di samping kirinya. Apakah ia harus mandi untuk bersuci atau dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.
Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memperoleh jawaban yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan bahwa dia tetap harus mandi karena tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya. Akhirnya orang ini pun mandi, dan ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi seorang muslim, yaitu bagaimana cara seorang muslim harus bersuci, kapan dia harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.
Demikian pula, seorang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakekatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup. Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan,

Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar
Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya
Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda
Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

Urgensi Menuntut Ilmu Agama
Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung kita sebagai umat Islam untuk mempelajari agama ini dengan benar, karena diri kita sangatlah butuh akan ilmu agama ini.
Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,
“Manusia sangat membutuhkan ilmu melebihi kebutuhan terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya dibutuhkan manusia sekali atau dua kali” (Al Adab asy Syar’iyyah 2/44-45).
Sungguh benar apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, beliau telah mensinyalir hal ini akan terjadi dalam sebuah haditsnya,
“Akan datang tahun-tahun yang dipenuhi penipuan. Pada saat itu, seorang pendusta justru dibenarkan dan seorang yang jujur malah didustakan. Seorang pengkhianat malah dipercaya dan seorang yang amanah malah dikhianati. Pada saat itu, ar-ruwaibidhah akan angkat bicara. Para sahabat bertanya, “Apa ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Ar-rumwaibidhah adalah seorang yang (pada hakekatnya) dungu, namun berani bicara mengenai urusan umat.” (Ash-Shahihah nomor 1887).
Begitupula jika kita menyimak firman Allah yang mencela kebodohan seorang terhadap agama-Nya, maka kita akan memahami bahwa setiap muslim dituntut untuk mengetahui perkara agama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (Ar Ruum: 6-7).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Maksudnya kebanyakan manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan tentang dunia dan pergulatan serta kesibukannya, juga segala apa yang di dalamnya. Mereka cukup cerdas untuk mencapai dan menggeluti berbagai kesibukan dunia, tetapi mereka lalai terhadap urusan akhirat dan berbagai hal yang bermanfaat bagi mereka di alam akhirat, seakan-akan seorang dari mereka lalai, tidak berakal dan tidak pula memikirkan (perkara akhiratnya)”
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
“Demi Allah, seorang dari mereka akan berhasil menggapai dunia, dimana ia bisa membalikkan dirham di atas kukunya, lalu dia mampu memberitahukan anda tentang beratnya. Namun dia tidak becus dalam mengerjakan shalat”
Jika kita menyimak ayat-ayat Al Qur-an, maka kita pun akan menemukan bahwa berbagai bentuk kesyirikan –yang notabene adalah dosa terbesar- dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,
“Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb)” (Al A’raaf: 138).
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)” (An Naml 54-55).
Coba kita perhatikan kedua ayat di atas, bukankah permintaan Bani Israil kepada nabi Musa ‘alaihis salam agar dibuatkan sesembahan (berhala) dan tindakan homoseks kaum nabi Luth berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap agama? Oleh karenanya, nabi Musa dan Luth menyatakan bahwa mereka adalah kaum yang jahil!
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau yang berjalan di atas sunnah beliau.


Berharap ini mennguatkan ku..
Permata, 29 Dec '10
Copy paste dari Blog nya 'Ustdchandra's Blog

Panggilan Sedih Penghuni Kubur


Di dalam kitabnya Lubb al-Lubab Ar-Rawandi mengatakan:
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa orang-orang yang telah meninggal, mereka datang setiap Jumaat pada bulan Ramadhan. Mereka berdiri dan masing-masing mereka memanggil dengan suara sedih dan menangis:
“Wahai keluargaku, wahai anak-anakku, wahai kerabatku, sayangi aku dengan sesuatu semoga Allah menyangimu. Ingatlah kami, jangan lupakan kami dengan doa. Sayangi kami dan keterasingan kami. Kami telah diabadikan di penjara yang sempit, kesedihan dan penderitaan yang lama masanya. Maka sayangi kami, jangan bakhil kepada kami dengan doa dan sedekah untuk kami. Semoga Allah menyayangi kita sebelum kalian seperti kami. Alangkah sedihnya kami! Kami sebenarnya mampu sebagaimana kalian mampu. Wahai hamba-hamba Allah, dengarlah bicara kami, jangan lupakan kami, kerana kalian pasti akan mengetahui dan merasakan besok. Infakkan apa yang kalian miliki. Dahulu kami juga miliki, tetapi kami tidak menginfakkan di jalan ketaatan kepada Allah, kami menahannya di jalan kebenaran, sehingga kurnia itu menjadi malapetaka bagi kami dan bermanfaat bagi orang lain. Sayangi kami walaupun dengan satu dirham, sepotong roti atau segelas minuman.” Kemudian mereka memanggil: “Cepatlah kalian menangisi diri kalian, menangisi segala yang tidak bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami menangisi diri kami dan segala yang tidak bermanfaat bagi kami. Bersungguh-sungguhlah kalian sebelum kalian seperti kami.”
(Mustadrak Al-Wasail 2: 162, bab 39, hadis ke 697)

Kemudian Nabi saw menangis, dan kami pun ikut menangis bersama Nabi saw, sehingga Nabi tidak mampu bercakap kerana banyaknya menangis. Kemudian beliau bersabda: “Mereka adalah saudara-saudara kalian dalam agama. Mereka telah dihancurkan oleh tanah sesudah mereka memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan di dunia. Mereka memanggil dengan kata-kata celaka dan penyelasan atas diri mereka. Mereka berkata: Celakalah kami, sekiranya apa yang kami miliki kami infakkan dalam ketaatan dan keredhaan Allah, nescaya kami tidak menyusahkan kalian. Kemudian mereka kembali dengan sedih dan menyesal. Kerana itu, segeralah kamu bersedekah untuk keluarga kalian yang telah meninggal.” (Jami’ul Akhbar: 169)

Dalam hadis yang lain disebutkan: “Tidaklah kamu bersedekah untuk orang yang telah meninggal, kecuali malaikat  mengambilnya di puncak cahaya yang sinarnya memancar sampai ke tujuh langit, kemudian ia berdiri di tepi liang kuburnya seraya memanggil: Assalamu’alaikum wahai penghuni kubur, keluargamu memberikan hadiah ini untukmu, lalu penghuni kubur itu mengambilnya dan membawanya ke kuburnya, sehingga menjadi luaslah tempat pembaringannya.” Kemudian Imam (sa) berkata: “Ingatlah, barangsiapa yang menyayangi orang yang telah meninggal dengan sedekah, ia memiliki pahala di sisi Allah sama dengan pahala orang yang berperang di perang uhud; dan pada hari kiamat nanti ia akan mendapat naungan arasy Allah, hari tidak ada naungan kecuali naungan arasy. Dengan sedekah orang yang hidup, yang meninggal dapat diselamatkan.” (Jami’ul Akhbar: 169)

Dalam suatu hadis dikatakan: “Sungguh ada seorang hamba yang tercatat sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya ketika mereka masih hidup, kemudian keduanya meninggal, tetapi ia tidak melaksanakan apa yang mereka tinggalkan dalam agamanya dan tidak memohonkan ampunan untuk mereka, maka Allah azza wa jalla mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Ada juga seorang hamba yang tercatat sebagai anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya dan tidak berbakti kepada mereka ketika mereka masih hidup, tetapi setelah mereka meninggal ia melaksanakan apa yang mereka ditinggalkan dalam agamanya, dan memohonkan ampunan untuk mereka, maka Allah azza wa jalla mencatatnya sebagai anak yang berbakti.” (Al-Kafi 2: 163, hadis ke 21)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya seorang mayyit, ia merasakan bahagia akibat kasih sayang yang dihadiahkan kepadanya dan permohonan ampunan untuknya, sebagaimana orang yang hidup bahagia dengan hadiah yang diberikan kepadanya. (Al-Faqih 1: 117, hadis ke 554)

Sabda Rasulullah juga “Barangsiapa dari kalangan muslimin yang melakukan amal soleh untuk orang yang telah meninggal, Allah melipatgandakan pahala baginya dan dengannya memberi manfaat pada orang yang telah meninggal.” (Al-Faqih 1: 117, hadis ke 556)
Dalam suatu riwayat dikatakan: Jika seseorang bersedekah dengan diniatkan untuk orang yang telah meninggal, Allah memerintahkan kepada malaikat Jibril agar datang membawa seribu malaikat ke kuburnya, dan masing-masing malaikat membawa tempat makanan dan berkata: “Salam atasmu wahai kekasih Allah, ini hadiah dari Fulan bin Fulan untukmu.”
“Kemudian bercahayalah kuburnya, dan Allah memberikan kepadanya seribu kota di surga, mengawinkannya dengan seribu bidadari, memberinya seribu pakaian yang baru, dan menunaikan baginya seribu keinginan.” (Al-Bihar 82: 63, hadis ke 7)

Secuil Tentang Syech Abdul Qadir ( 3 )


Al-Hafidz Abu Zar’ah Dzahir bin Dzahir AL Maqdisy ad-Daari berkisah, “Aku pernah menghadiri majlis Syaikh Abdul Qadir dan beliau berkata, ‘Perkataanku ini ditujukan kepada orang-orang yang datang dari balik gunung Qaf. Mereka yang kakinya menapak di udara dan hati mereka di hadapan Al-Quds. Belitan serban dan tutup kepala mereka seakan akan terbakar karena rasa rindu kepada Tuhan mereka.’ Pada saat itu putra beliau Syaikh Abdurrazaq juga dalam majlis tersebut dan duduk di depan kaki ayahnya. Kamudian beliau menegadahkan kepalanya ke langit. Beberapa saat kemudian beliau menekurkan kepalanya (pingsan_ dan serban yang dijadikan penutup kepalanya terbakar. Sang Syaikh turun dari kursinya dan memadamkan api tersebut seraya berkata, ‘Dan engkau AbduRrazaq adalah salah seorang dari mereka’”. Setelah itu aku bertanya kepada Syaikh AbduRrazaq tentang apa yang menyebabkan ia pingsan, beliau mengatakan, “ketika aku menengadah menatap ke udara, aku melihat orang-orang dengan api di pakaian mereka memenuhi ufuk dan sedang mendengarkan beliau. Di antara mereka ada yang duduk di udara.sebagian yang lain duduk di tanah mendengarkan beliau dan yang lain terbang menyambar-nyambar di tempatnya”.
Syaikh AbduLlah Al-Ashbahani Al-Qamari Al-Jabali berkata, “Pada suatu malam yang diterangi bulan aku mendapatkan para penghuni pegunungan Libanon sedang berkumpul kemudian terbang ke Iraq kelompok demi kelompok. Akupun bertanya kepada sahabatku yang merupakan salah seorang dari mereka tentang penyebabnya, dia menjawab, ‘Khidir as. Memerintahkan kami untuk mendatangi Baghdaddan menghadap seorang Quthb.’ ‘Siapa Quthb tersebut ?’  ‘Syaikh Abdul Qadir ra.’ jawabnya. Kemudian aku memohon kepadanya untuk diizinkan ikut bersamanya. Shabatku mengabulkan permohonanku dan akupun pergi bersamanya tebang di udara. Tak lama kemudian kami tiba di Baghdad dan akupun melihat para penghuni Jabal tersebut telah berbaris di hadapan sang Syaikh. Pemimpinnya memanggil sang Syaikh dengan sebutan tuanku. Beliau memberikan perintah kepada mereka kemudian menyuruh mereka untuk kembali. Maka merekapun terbang ke tempat semula. Aku berkata kepada sahabatku, ‘Adab dan cepatnya kalian melaksanakan apa yang diperintahkan beliau belum pernah aku lihat sebelum ini’. ‘Saudaraku,’ jawab sahabatku. ‘bagaimana kami tidak melaksanakan perintah itu kepada orang yang berkata, ‘Kedua kakiku ini ada di punggung setiap wali Allah’. Kami telah diperuntahkan untuk menghormati dan mentaatinya’”.




http://hidangan-ilahi.blogspot.com/2010/01/para-penghuni-pegunungan-libanon.html

Secuil Tentang Syech Abdul Qadir (2)

 MENITI JALAN ILAHI
 
Diriwayatkan dari Syaikh Abdullah An-Najjar bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pernah berkata saat dilanda berbagai cobaan yang berat, “Jika banyak cobaan yang menimpa diriku, aku berbaring di atas tanah dan berkata, ‘Sesungguhnya sesudah kesusahan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesusahan ada kemenangan’. Dan ketika aku bangun berbagai beban tadi telah pergi dariku”.

Kemudian sang Syaikh melanjutkan, “Setelah belajar fiqih dari para syaikh, aku pergi dari Baghdad ke daerah padang pasir. Aku tinggal diantara pohon Kharab. Aku memakai jubah kaum sufi dengan sepotong kain di atas kepalaku dan berjalan dengan kaki telanjang. Memakan Khurnub (carob / ceratonia Siliqua) atau Syuuk (caltrop / Tribulus), sampah para pedagang dan daun kol yang tumbuh di tepian sungai. Aku jalani semua rintangan dan berjalan mengikuti kehendak Allah. Ketika tiba di padang pasir aku berteriak, ‘ludahi mukaku’. Ketika itu aku hanya dikenal sebagai si bodoh atau si gila. Kakiku membawaku ke Bimaristan dan aku hampir meninggal di sana. Para penduduk datang dengan membawa kain kafan dan tukang memandikan mayat, kemudian mereka mengangkat aku ke tempat pemandian untuk memandikanku dan kemudian meninggalkanku”.

Syaikh Abu Su’ud Al-Harimi meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir berkata, “Selama 25 tahun aku mendiami padang pasir Iraq, selama itu aku tidak pernah bertemu dengan orang, maupun diketemukan orang. Pada masa itu sekelompok Jin dan Rijal Gaib datang kepadaku dan aku mengajarkan jalan menujun Allah kepada mereka. Nabi Khidir AS menemaniku pada saat aku tiba di Iraq untuk pertama kali walaupun aku tidak pernah berjumpa beliau sebelumnya. Baliau mengajukan syarat kepadaku untuk tidak membantahnya dan berkata kepadaku “Duduk di siniakupun duduk di situ selama tiga tahun dan setiap tahun beliau mendatangiku dan berkata “tetap di tempatmu sampai aku datang”. Pada masa itu , dunia serta segala kemewahan dan keindahannya menjelma dan datang kepadaku namun Allah melindungiku dari semua itu Kemudian setan mendatangiku dalam bentuk yang menakutkan dan memerangiku namun Allah menguatkanku. Allah tampakkan pula nafsuku dalam bentuk yang terkadang tunduk kepada apa yang aku inginkan tapi kadang pula memerangiku dan Allah memenangkan aku atas dirinya. Semua metode mujahadah aku jalani pada masa awal perjalanan spiritualku bertahun tahun lamanya aku menempati pinggiran kota menempa diri. Ada kalanya dalam setahun aku hanya memakan makanan dan tidak minum. Kemudian pada tahun berikutnya aku hanya minum dan tidak makan. Kamudian tahun berikutnya aku tidak makan dan minum serta tidur selama setahun.

Pada suatu malam yang sangat dingin aku tertidur di Iwan Al-Kisra dan bermimpi basah. Aku bangun dan langsung mandi kemudian tidur dan kembali bermimpi . Aku kembali bangun, pergi ke sungai dan mandi besar. Pada malam itu aku berjunub dan mandi sebanyak 40 kali. Akhirnya aku memanjat menara Iwan Al-Kisra karena takut akan bermimpi lagi “.

“Betahun tahun aku hanya tinggal di sebuah gubuk reyot dan hanya makan kain bajuku. Setiap tahun seseorang memakai jubah sufi dating kepadaku dan memasukkan aku ke seribu fan hingga aku melupakan dunia……..Saat itu aku hanya dikenal sebagai si bodoh atau si gila dan berjalan dengan bertelanjang kaki. Aku selalu melewati rintangan yang ada dan tidak takluk kepada nafsu dan tiak pula tergoda dengan kemewahan dunia “.

Syaikh Umar meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada permulaan perjalanan spiritualku, berbagai kondisi spiritual mendatangiku. Aku menyambutnya dan tenggelamlah “aku “ di dalamnya. Dalam keadaan tersebut aku biasanya berlari-lari tanpa sadar. Bila aku keluar dari kondisi tersebut, aku akan mendapatkan diriku telah jauh dari tempat aku masuk ke dalam kondisi spiritual tersebut “.

Pernah suatu ketika aku masuk ke dalam sebuah kondisi spiritual di Baghdad dan aku berlari kira-kira satu jam tanpa sadar. Setelah sadar aku mendapati diriku berada di negeri Systar yang berjarak 12 hari perjalanan dari Baghdad. Ketika aku sedang memikirkan perkaraku ini , tiba-tiba ada seorang wanita berkata kepadaku, ’engkau terpesona dengan kondisimu padahal engkau Syaikh Abdul Qadir Jailani ‘.

Syaikh Utsman Shairafi meriwayatkan bahwa Syaikh Abdul Qadir bercerita, “Siang maupun malam aku tinggal di padang pasir, bukan di Baghdad. Sepanjang masa itu para setan mendatangiku berbaris dengan rupa yang menakutkan, menyandang senjata dan melontariku dengan api. Namun saat itu pula aku mendapatkan keteguhan dalam hatiku yang tak dapat aku ceritakan dan aku mendengar suara dari dalam hatiku yang berkata “Bangkit hai Abdul Qodir” telah kami teguhkan engkau dan kami dukung engkau. dan ketika aku bangkit mereka pun kocar-kacir, kembali ke tempat semula
Setelah itu ada setan lagi datang dan mengancamku dengan berbagai ancaman, akupun bangun dan menamparnya hingga dia lari pontang panting. Kemudian aku baca Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim, dan terbakarlah ia. Di lain waktu setan mendatangiku dengan rupa seorang yang buruk rupa dan berbau busuk seraya berkata “Aku Iblis datang melayanimu karena ku dan para pengikutku telah putus asa terhadapmu. “Pergikataku kepadanya. aku tidak percaya dengan apa yang engkau ucapkan. Saat itu muncul tangan dari langit memukul ubun-ubunnya hingga iblis tersebut terbenam ke dalam bumi.
Ke dua kalinya iblis tersebut mendatangiku dengan membawa sebuah bola api untuk menghancurkan aku. Ketika itu datanglah seorang berjubah dengan mengendarai seekor kuda memberikan sebilah pedang kepadaku. Melihat hal ini si iblis mundur, tidak jadi menyerangku.
Ketiga kalinya aku melihat iblis duduk menjauh dariku sambil menaburkan tanah di kepalanya seraya berkata ” Aku putus asa terhadap dirimu wahai Abdul Qodir” maka aku jawab “Aku tetap curiga terhadapmu”. mendengar jawabanku ini iblis berkata ” ini lebih dahsyat daripada bala”……………..

Kemudian disingkapkan kepadaku berbagai jaring. ‘Apa ini?’ tanyaku. ‘ini’ jawab sebuah suara, ‘adalah jaring-jaring dunia yang menjerat orang-orang sepertimu ‘. Akupun berpaling dan melarikan diri darinya. Aku habiskan satu tahun untuk memeranginya hingga aku dapat lepas dari semua itu. Setelah itu disingkapkan kepadaku berbagai sebab yang berhubungan dengan diriku. ’Apa ini ?’. Tanyaku. ’ini adalah sebab musabab kemakhlukan yang berhubungan dengan dirimu, ’ jawab sebuah suara kepadaku. Akupun menghadapinya selama setahun sampai hatiku lepas dari semua itu ’.

Tahap selanjutnya disingkapkan kepadaku isi dadaku dan aku melihat hatiku tergantung kepada berbagai hubungan. Aku bertanya “apa ini?” suara tersebut menjawab ,’ini adalah kemauan dan plihanmu,’ Jawaban tersebut membuatku menghabiskan waktu setahun lainnya untuk memerangi hingga aku dapat lepas dari semua itu,’.

Berikutnya disingkapkan kepadaku jiwaku dan aku melihat berbagai penyakit masih bercokol, hawa nafsunya masih hidup dan setan yang ada di dalamnya masih bercokol, hawa nafsunya masih hidup dan setan yang ada di dalamnya masih melawan. Aku memerlukan setahun lainnya untuk memerangi semua itu hingga berbagai penyakit hati hilang., hawa nafsunya mati dan setan berhasil aku tundukkan. Dengan demikian segala sesuatu hanya untuk Allah semata’.

Pada tahap ini aku benar-benar sendiri, semua yang eksis aku tinggalkan di belakang dan aku tetap belum berhasil mencapai junjunganku. Aku seret diriku ke pintu tawakal agar dapat masuk menemuinya. Namun setibanya aku di pintu tersebut, aku mendapatkan kerumunan orang yang membuatku mundur. Begitu pula di pintu syukur, kekayaan, kedekatan, penyaksian (musayhadah) semuanya penuh dengan orang-orang. Akhirnya aku menyeret diriku ke pintu kefakiran. Aku dapati pintu tersebut kosong dari orang-orang, maka aku memasukinya dan mendapatkan di dalamnya berisi semua yang aku tinggalkan dan Harta Karun paling besar dan Kemuliaan Paling Agung (Allah SWT)”.

Syaikh Abu Muhammad Abdullah Al-Jaba’I menyatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berkata, “Suatu saat aku duduk di tengah padang pasir, sedang mengulang-ulang pelajaaran fiqih dalam keadaan kelaparan. Tiba-tiba muncul suara yang berkata kepadaku ,’ Mengapa Aku tidak melihatmu meminjam uang agar engkau dapat belajar fiqih –atau menuntut ilmu- (dengan tenang)’. ‘Bagaimana aku berhutang sedang aku tidak sanggup untuk melunasinya ‘. Jawabku. Kemudian suara tersebut berkata , ‘cari pinjaman dan kami yang akan membayarnya’.

Akupun pergi ke seorang penjual sayur dan berkata kepadanya, ‘maukah engkau bertransaksi kepadaku tapi dengan syarat jika aku dapat mengembaloikan apa yang aku pinjam maka aku akan mengembalikannya kepadamu . Namun jika aku mati dan tidak dapat mengembalikannya maka engkau menghalalkannya untukku. Yang aku minta adalah sepotong roti dan sedikit seledri ’. Penjual tersebut menangis mendengar permintaanku dan berkata, ’Sayyidi (tuanku), aku halalkan semuanya untukmu. Ambil saja yang engkau suka ’. Sejak saat itu aku selalu menerima sepotong roti dan seledri. Namun setelah hal tersebut berjalan beberapa lama mulai timbul perasaan tidak enak di hatiku karena ketidak mampuanku membayar si pedagang.

Sat itu sebuah suara berkata kepadaku, “Pergilah ke tempat A. dan bayarkan kepada pedagang tersebut apa yang engkau lihat di atas batu ’. Akupun ke tempat tersebut dan melihat sebongkah besar emas di atas batu yang kemuduan aku bayarkan kepada si pedagang “.

Dalam riwayat yang lain Syaikh Al-Jaba’I meriwayatkanbahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berkata, “aku sedang bersama orang-orang belajar fiqih ketika suatu saat musim panen tiba. Oranag-orang tersebut biasanya pergi ke Rusytaq untuk meminta sedikit bagian dari panen. Pada suatu hari mereka akan pergi ke Ba’quba dan mengajakku. Akupun pergi bersama mereka.

Di Ba’quba tinggal seorang Shaleh bernama Ya’qubi. Ketika ia melihatku, dia berkata kepadaku, ’Murid Al-Haq (yang menginginkan Allah) dan orang-orang saleh tidak pernah meminta sesuatu kepada seseorang. ’beliau melarangku untuk meminta sesuatu kepada manusia. Dan sejak saat itu aku tidak pernah pergi ke tempat tersebut.”

Syaikh Abdul Qadir juga pernah berkataa, “suatu malam aku tenggelam dalam kondisi spiritual yang membuatku berteriak. Saking kerasnya teriakanku, para penjaga sampai terkejut dan mendatangiku. Ketika mendapatiku sedang tersungkur di tanah, mereka segera mengenaliku dan berkata, ini Abdul Qadir Al-Majnuun (si gila) yang sengaja mengagetkan kita untuk ingat kepada Allah “.


http://hidangan-ilahi.blogspot.com/2010/01/meniti-jalan-ilahi.html

Secuil Tentang Syech Abdul Qadir (1)



Syaikh Abul hasan Al Jausaqi berkata,”Tuli telingaku dan buta mataku jika mendengar dan melihat orang seperti Syaikh Abdul Qadir”.

Syaikh Khalifah An-Nahri Al-Maliki murid Syaikh Abi Sa’id Al-Qailawi, ”Ketika aku melalui sesuatu negeri aku melihat seseorang duduk di udara. Akupun bertanya, dengan apa engkau mendapatkan anugerah seperti ini ?” Orang tersebut menjawab.”Ya Khalifah aku tundukkan hawa nafsuku dan aku tunggangi taqwa maka Allah mendudukkanku di udara”. Setelah itu aku mendatangi Syaikh Abdul Qadir dan mendapati beliau sedang duduk di kubah para wali dengan orang yang aku jumpai berada di depan beliau dengan sikap tawadhu’. Orang itu berbicara dan bertanya kepada sang Syaikh tentang persoalan ma’rifat dan hakikat yang tidak aku pahami. Setelah selesai aku berkata kepada pria tersebut,’ Sekarang aku bertemu kamu di sini’.
“Bukankah seluruh wali Allah selalu berkunjung ke mari “. Jawabnya.
“Semua yang kamu bicarakan dengan sang Syaikh tidak ada yang aku pahami”. Kataku,
Ia menjawab, “Disetiap maqam ada hukum tersendiri yang juga mempunyai makna sendiri yang diinterpretasikan dengan melalui ibarah yang sesuai dengannya. Sebuah ibarah tidak akan dapat dipahami kecuali dengan memahami maknanya. Makna tersebut juga tidak dapat dipahami kecuali mereka yang telah mendapatkan hikmah yang tidak akan terealisasikan kecuali mereka yang telah mencapai maqam yang ditunjukkan”.
Kemudian aku kembali bertanya kepadanya, “Aku tidak pernah melihat ada yang bersikap sedemikian tawadhu’ seperti yang engkau lakukan dihadapan Syaikh Abdul Qadir”.
Ia menajwab, “Bagaimana aku tidak bersikap tawadhu’ kepada beliau yang telah memberikan jabatan kepadaku jabatan (wilaayah) dan otoritas ....
Beliau mengangkatku sebagai ketua dan memberikan otoritas untuk mengatur seratus orang (rijal al-ghaib) yang tinggal di udara. Mereka titdak dapat dilihat kecuali oleh orang-orang yang diikehendaki oleh Allah SWT. Firman Allah SWT, “Dan tidaklah kami (jibril) turun dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita, dan apa-apa yang ada di antara keduanya.) (QS. Maryam 24).
Syaikh Khalifah di atas juga mengatakan bahwa semua rahasia dan urusan para wali selalu merujuk kepada Syaikh Abdul Qadir. Karisma diri dan pandangan beliau membuat penduduk satu daerah yang dipandangnya-di barat maupun di timur- akan merasa segan. Dengan pandangan berkah beliau mereka mengharapkan tambahan terhadap kondisi mereka dan mereka sangat takut akan diturunkannya kondisi mereka karena pandangan sang Syaikh.
Syaikh Baqa’ bin Bathu’ An-Nahri Al-Maliki mengatakan bahwa pada suatu ketika syaikh AbduLlah bersama seorang pemuda menghadap Syaikh Abdul Qadir. “Ya Syaikh doakanlah anakku ini”. Pintanya kepada Syaikh Abdul Qadir. Padahal anak tersebut sebenarnya bukanlah anaknya, namun anak hasil zina.
“Sampai sedemikian inikah perlakuanmu terhadapku ?”. Kata Syaikh Abdul Qadir dengan gusar. Kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Seketika itu pula terjadi kebakaran di berbagai tempat di Baghdad. Setiap kali api berhasil dipadamkan di satu tempat, kebakaran kembali terjadi di tempat lain. Ketika itu aku melihat bala diturunkan di atas Baghdad bak awan dan semua itu karena kegusaran Syaikh Abdul Qadir.
Aku segera menemui beliau yang sedang duduk di dalam rumahnya dalam keadaan marah. Aku berkata kepadanya, “Tuanku, kasihanilah makhluk. Orang-orang telah mendapatkan celaka”. Seketika itu kemarahannya reda, dan seiring dengan redanya kemarahan beliau, kebakaran yang terjadi seluruhnya padam.
 
 
 
http://hidangan-ilahi.blogspot.com/2010/01/bukankah-seluruh-wali-allah-selalu.html