Rabu, 12 Januari 2011

Seri Belajar Membaca Risalatul Qusyairiyah ( 4 )

 MENGUMPAT
 
 
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian diantara kamu mengumpat yang lain, senaNgkah salah seorang diantara kamu sekalian memakan daging saudaranya yang telah mati (bangkai) ? Maka tentu kamu sekalian tidak menyukainya”. (QS. Al Hujarat 12).

Dari Abu Hurairah RA diceritakan, “Seorang laki-laki berdiri bersama RasuluLlah SAW yang sebelumnya dia duduk. Sebagian kaum mengatakan, “Alangkah lemahnya si fulan”. Setelah itu RasuluLlah SAW berkata, “Engkau telah memakan saudaramu dan engkau telah mengumpatnya”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa AS, “Barang siapa meninggal dunia dan bertobat dari umpatan, maka dia adalah orang yang terakhir masuk surga. Barang siapa meninggal dunia dan selalu mengumpat maka dia adalah orang yang pertama masuk neraka”.

Auf mengatakan, “Saya bertemu dengan Ibnu Sirrin kemudian saya mengumpat Hajjaj. Seketika itu Ibnu Sirrin mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Adil. Apabila engkau bertemu dengan Allah Swt di hari kiyamat, maka dosa yang paling kecil akan menjadi lebih besar daripada dosa yang paling besar yang engkau timpakan kepada Hajjaj’”.

Menurut satu cerita, Ibrahim bin Adham pernah diundang dan ia menghadirinya. Mereka yang hadir menyebut yang tidak hadir. Mereka mengatakan, “Orang yang tidak hadir itu adalah Tsuqail “. Ibrahim mengtakan, “Inilah diriku yang telah membuatku demikian. Apabila saya menghadiri suatu tempat, orang-orang akan mengumpat”. Setelah itu dia keluar dan tidak mau makan selama tiga hari. Menurut satu pendapat, perumpamaan orang yang mengumpat adalah seperti orang yang meluruskan senjata manjanik (alat pelempar yang diberi peluru panah api). Kebaikannya ia lempar ke arah timur dan barat. Dia mengumpat orang khurasan, Hijas, dan turki. Kebaikannya ia pisah kemudian dia luruskan sehingga tidak ada sedikitpun yang tersisa di pangkuannya. Manurut yang lain, catatan buku perbuatan seorang hamba akan didatangkan di hari kiyamat. Dia tidak melihat kebaikannya, seraya berkata, “Di mana salatku, puasaku, dan taatku”. Dijawab, “Semua perbuatan baikmu telah hilang karena engkau mengumpat orang lain”. Sedangkan yang lain berpendapat, barang siapa diumpat orang lain maka Allah Ta’ala akan mengampuni separuh dosa-dosanya”.

Sufyan bin Husain duduk di hadapan Iyas bin Mu’awiyah lantas ia mengumpat seseorang.
Apakah engkau berperang melawan orang turki atau romawi ?”tanya Iyas.
Tidak”. Jawab Sufyan.
Orang-orang Turki dan Romawi telah selamat darimu”. Jawab Iyas kemudian.

Menurut satu pendapat, catatan buku perbuatan seseorang akan diberikan. Dia akan melihat kebaikan yang belum pernah ia kerjakan. Setelah itu ia diberitahu, ini adalah perbuatan baikmu karena engkau telah diumpat oleh orang lain sedangkan engkau tidak merasa.

Sufyan Ats-Tsauri pernah ditanya tentang sabda RasuluLlah SAW “Sesungguhnya Allah membenci ahli rumah yang suka makan daging”.
Dia menjawab, “Orang-orang yang mengumpat orang lain adalah orang-orang yang makan daging mereka”.

Persoalan umpatan pernah diutarakan di hadapan AbduLlah bin Mubarak, dia mengatakakn, “Seandainya saya disuruh mengumpat seseorang maka pasti saya akan mengumpat kedua orang tuaku karena mereka lebih berhak kepada kebaikanku”.
Menurut Yahya bin Mu’adz, orang mukmin mempunyai bagian darimu dalam tiga hal. Pertama jika engkau tidak memberikan pertolongan, maka jangan memberikan bahaya. Kedua, jika engkau tidak merahasiakan, maka janganlah mengumpat. Ketiga, jika engkau tidak memuji, maka jangan mencela”. Hasan Al-Bashri pernah diberi kabar bahwa fulan telah mengumpatnya. Maka setelah itu Hasan mengirimkan kue yang tertutup kepadanya. Hasan mengatakan kepadanya, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa engkau menghadiahkan kebaikan kepadaku . oleh karena itu saya memberikan imbalan kepadamu”.

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak mempermalukan orang lain dari wajahnya maka dia tidak termasuk orang yang mengumpat”.
Al Junaid mengatakan, “Saya duduk di masjid Syuniziyah menunggu jenasah yang akan disalatkan. Demikian pula orang-orang Baghdad, tetapi mereka duduk berdasarkan kedudukan mereka. Setelah itu saya melihat orang fakir yang tampak bekas-bekas ibadahnya. Dia mengemis kepada orang lain. Saya bergumam dalam hati, seandainya orang fakir itu berhias diri, tentu ia akan lebih tampan. Setelah itu aku pulang ke rumah. Pada waktu malam di hadapanku terdengar suara wirid berupa tangisan, salat dan lain-lainnya. Wirid itu dapat menundukkan semua wiridku . ketika itu saya dalam keadaan diantara bangun dan duduk akan tetapi sangat mengantuk sehingga saya tertidur. Dalam tidurku aku melihat si orang fakir tadi dipanggul oleh beberapa orang dan diletakkan di atas singgasana yang luas. Mereka mengatakan kepadaku, “Makanlah dagingnya karena engkau telah mengumpatnya.” Saya teringat akan peristiwa itu. Saya mengatakan, ‘Engkau tidak termasuk orang yang direlakan dengan sesamanya.’ Oleh karena itu pergilah dan mintalah maaf kepadanya’. Saya sangat kebingunan. Suatu saat saya dapat melihatnya di suatu tempat yang apabila air mengalir ia dapat memperoleh daun-daun yang telah dipotong dari pohon ketika disiram. Setelah itu saya menmgucapkan salam kepadanya. Dia bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau masih membiasakan diri mengumpat ?’ Saya menjawab, ‘Tidak’. Dia mengatakan, ‘Mudah-mudahan Allah SAW mengampuni kita’.

Abu Ja’far mengatakan, “Di hadapan kami terdapat seorang pemuda dari penduduk Balkh. Dia selalu berijtihad dan beribadah. Hanya saja dia selalu mengumpat orang lain. Dia mengatakan, ‘Si Fulan seperti ini dan itu’. Suatu hari aku melihatnya. Dia keluar dari samping para waria yang berjumlah seratus. Pekerjaannya sebagai tukang cuci. Saya bertanya, ‘Apa kabarmu ?’. dia menjawab, ‘Ada kejadian yang menimpaku’. Setelah itu saya mengatakan, ‘Saya pernah mendapatkan cobaan karena meremehkan waria. Oleh karena itu saya melayani mereka . sekarang semua peristiwa itu telah berlalu. Untuk itu berdoalah kepada Allah SWT agar memberikan rahmat kepadaku’”.

Seri Belajar Membaca Risalatul Qusyairiyah ( 3 )

  DIAM

Dari Abu Hurairah RA diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam”.
 
      Uqbah bin Amir menceritakan, “saya bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah keselamatan itu?”, Beliau menjawab,  “Jagalah lisan engkau, perluaslah rumahmu , dan menangislah akan dosa-dosamu.
 
      Diam adalah pondasi keselamatan dan merupakan sikap penyesalan terhadap berbagai celaan. Oleh karena itu kewajiban diam ditetapkan oleh syara’, perintah dan larangan. Sedangkan diam pada saat-saat tertentu adalah sifat pemimpin, sebagaimana ungkapan bahwa berbicara pada tempatnya termasuk perilaku yang baik.
    
      Saya (Imam Al-Qusyairi) telah mendengar ustadz Abu Ali Ad-Daqaaq berkata, “Barang siapa yang mendiamkan kebenaran, maka ia ibarat setan yang bisu”.  Sikap diam sambil memperhatikan, merupakan bagian dari perilaku orang-orang yang baik. Allah SWT berfirman,  [QS. Al-A’raaf]: 204 “Apabila dibacakan Al-Qur’an maka hendaklah didengarkan dan diperhatikan agar kamu sekalian mendapat rahmat.”
 
      Allah SWT dalam ayat yang lain berfirman, yang mengabarkan kepada jin atas kehadian RasuluLlah SAW, [QS. Al Achqaaf]: 29.“Tatkala mereka hadir, mereka berkata kepada sesamanya, diamlah (perhatikanlah)”.
 
      Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman, [QS. Thaha]: 108 “Sunyi senyaplah suara karena takut kepada Yang Maha Pengasih sehingga tiada engkau dengar kecuali suara halus”.

      Diam terbagi menjadi dua, yaitu diam secara lahir dan diam secara bathin. Orang yang bertawakal hatinya selalu diam dengan meninggalkan berbagai tuntutan ekonomi. Sedangkan orang yang berma’rifat hatinya akan selalu diam (tenang) dengan mempertemukan ketetapan hukum melaui sikap yang baik. Oleh karena itu perbuatan yang baik adalah yang dapat dipercaya, sedangkan ketetapan yang baik adalah hal yang dapat diterima.
 
      Terkadang yang menyebabkan diam adalah heran. Apabila pengetahuan tentang sifat yang mengejutkan telah muncul, maka ungkapan yang mengandung pelajaran akan menjadi tumpul, tak ada keterangan dan pemikiran. Oleh karena itu tempat-tempat pertemuan akan menjadi sirna , tidak ada ilmu dan perasaan. Allah SWT berfirman,[QS. Al Maaidah]: 109 “(Ingtalah) di hari  waktu Allah mengumpulkan para Rasul, kemudian Allah bertanya, “Apa jawaban kaummu terhadap seruanmu?” Para Rasul menjawab, “Tidak ada pengetahuan bagi kami tentang itu”.
 
      Jika mereka mengetahui apa yang terkandung di dalam pembicaraan merupakan hal-hal yang negatif, dan merupakan bagian dari hawa nafsu, memperlihatkan sifat-sifat terpuji, suka membedakan berbagai kesulitan dengan sikap yang baik, dan mengetahui berbagai hal negatif lainnya, maka mereka mempunyai sifat yang sama dengan orang-orang yang terlatih. Sifat ini merupakan bagian dari kekuatan  pondasi mereka untuk menghindarkan diri dan menyantuni orang lain.
 
      Dalam suatu cerita, Dawud At-Thaa’I ketika hendak memasuki rumahnya, dia berbalik (bermaksud) mengadiri tempat pengajian yang disampaikan oleh Abu Hanifah karena dia seorang muridnya. Ketika dirinya telah kuat dan mampu melaksanakan perilaku tersebut selama satu tahun, dia lebih senang duduk di rumahnya dan mengutamakan uzlah.
 
      Saya (Syaikh Abul Qasim Al Qusyairy RA) mendengar Bisyir bin Harits menatakan, “Jika bicaramu membuatmu kagum maka diamlah. Jika diammu membuatmu kagum maka bicaralah. “ Menurut Sahal bin Abdullah, tidak dibenarkan seseorang diam sehingga dia berkhalwat. Dan tidak dibenarkan seseorang bertobat sehingga dia diam. Abu Bakar Al-Farisi berkata, “Barang siapa yang tidak membiasakan diri diam, maka segala urusannya akan sia-sia meskipun dia adalah orang yang diam. Diam tidak hanya terbatas pada mulut tetapi juga pada hati dan seluruh anggota tubuh. Sebagian ulama berkata, “Barang siapa yang tidak mampu menahan diam maka bicaranya akan sia-sia”.
 
      Saya (Syaikh Abul Qasim Al Qusyairy RA) mendengar Mimsyad Ad-Dinawari berkata, “Ahli hikmah akan mewariskan ilmu hikmahnya dengan diam dan akal pikiran”. Abu Bakar AL-Farisi pernah ditanya tentang diamnya hati, dia menjawab, “Meninggalkan kesibukan masa yang telah lampau dan masa yang akan datang”. Menurutnya, jika seseorang yang pembicaraannya ditentukan dan dia harus berbicara, maka hendaknya dia membatasi diam.
 
      Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA dia berkata, “Berbicaralah dengan orang lain seminimal mungkin dan berbicaralah dengan Tuhanmu sebanyak mungkin, agar hatimu dapat melihat Tuhan”.
 
      Dzunun pernah ditanya oleh seseorang, “Siapa orang yang paling mampu menjaga diri ?”
      “Orang yang betul-betul menjaga mulutnya”. Jawabnya
 
      Menurut Ali bin Bakar, Allah SWT  menjadikan segala sesuatu dua pintu dan menjadikan mulut empat pintu. Dua bibir mempunyai dua daun pintu, dan beberapa gigi juga mempunya dua daun pintu
 
      Menurut suatu riwayat, Abu Bakar As-Shiddiq meletakkkan batu kecil di dalam mulut beliau agar bicaranya dapat diminimalkan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Hamzah Al-Baghdadi adalah orang yang bicaranya baik. Suatu saat hatif berkata kepadanya, “Engkau telah berbicara dengan baik tetapi diam tentu lebih baik”. Setelah itu dia tidak pernah berbicara sampai dia meninggal dunia.
 
      Imam Asy-Syibli apabila menyampaikan materi kajiannya, tak seorangpun yang hadir akan bertanya. Beliau berkata dengan mengutip firman Allah SWT [QS. An-Naml]: 85 “Perkataan (janji Allah) kepada mereka telah tiba karena mereka aniaya. Sedangkan mereka tidak dapat bercakap-cakap”.
 
      Diam terkadang juga terjadi bagi orang yang berbicara karena diantara kaum ada orang yang lebih baik bicaranya.
  
      Saya (Syaikh Abul Qasim Al Qusyairy RA) telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Suatu saat saya tidak bisa menghadiri pengajian di Murwa karena ada halangan. Untuk pulang ke Nisabur, saya merasa berat karena sudah menempuh separuh perjalanan. Ketika tidur saya bermimpi bertemu dengan seseorang. Dia berkata kepadaku, ‘jangan bersikeras keluar dari kota ini karena sekelompok jin sangat ingin mendengarkan pidatomu dan mereka telah hadir di tempat pengajianmu. Oleh karena itu alangkah baiknya jika engkau menyampaikan  materi pengajian”’.
 
      Sebagian ahli hikmah telah berkata, “Manusia diciptakan Allah SWT dengan mempunyai satu mulut, dua mata dan dua telinga agar dia dapat mendengar dan melihat lebih banyak dari apa yang dia katakan”.
 
      Ibrahim bin Adham pernah diundang. Ketika dia sedang duduk, orang-orang yang hadir mengumpat. Dia berkata dengan bahasa ironi, “Disamping kita terdapat orang yang memakan daging sesudah makan roti. Sedangkan kamu sekalian memulai dengan makan daging”. Dia mengutip firman Allah [QS. Al-Hujarat]: 12 “Apakah diantara kamu sekalian suka makan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentu kamu akan benci memakannya”..
 
      Menurut ahli hikmah, diam adalah mulut orang yang bijaksana. Menurut sebagian yang lain, belajar diam sama halnya dengan belajar bicara. Belajar bicara akan memberikan petunjuk, dan belajar diam akan menjaganya. Menurut suatu pendapat, keselamatan mulut adalah diam. Sebagian lain juga berpendapat, perumpamaan mulut adalah seperti hewan buas, apabila tidak diikat, ia akan menganiaya.
 
      Abu Hafs pernah ditanya, “Bagi seorang wali, keadaan apa yang lebih utama?” Dia menjawab, “Seandainya orang yang berbicara mengetahui resiko pembicaraan, dia pasti akan diam. Dan seandainya dia mengetahui resiko diam, dia pasti akan terus menerus memohon kepada Allah SWT agar dipanjankan umurnya seperti Nabi Nuh AS sehingga dia dapat berkata, “agar dia mendapat petunjuk menuju kebaikan”.
 
      Menurut satu pendapat, puasa orang awam dengan mulut, puasa orang ma’rifat dengan hati. Dan puasa orang yang cinta kepada Allah dengan ketinggian rahasia akal pikiran.
      Sebagian ulama berkata, “Saya mengekang mulutku selama 30 tahun  sehingga tak pernah mendengar sesuatu kecuali yang keluar dari hatiku. Setelah itu saya mengekang hatiku selama 30 tahun sehingga aku tidak pernah mendengar sesuatu selain yang keluar dari mulutku”. Menurut ungkapan sebagian ulama yang lain, seandaninya mulutmu tidak dapat berbicara, engkau tak akan lepas dari ucapan hati. Seandainya engkau menjadi orang yang buruk, engkau tidak akan lepas dari ucapan diri sendiri. Dan seandainya engkau berusaha secara optimal, jiwamu tidak akan berbicara denganmu karena ia menyimpan rahasia yang tersembunyi”.
 
      Menurut suatu pendapat, orang yang bodoh adalah kunci kematian. Menurut yang lain, orang yang cinta kepada Allah SWT, jika tidak berbicara dia akan kuat. Fudhail bin Iyadh berkata, “Barang siapa yang bicaranya lebih banyak dari pada perbuatannya, maka inti bicaranya adalah sedikit kecuali ucapan yang dibutuhkan”.