Sabtu, 08 Januari 2011

Pelajaran Hakikat Rasulullah SAW

Rasulullah SAW terlambat hadir di masjid untuk mengimami salat subuh karena bermimpi mendapat pelajaran hakikat dari الله SWT.

Sejak azan subuh berkumandang sampai menjelang fajar, Rasulullah SAW belum muncul di masjid. Para sahabat menjadi gelisah. Beberapa sahabat diutus menemui Rasulullah SAW di rumah beliau, namun yang lain mencegah sebab mereka yakin bahwa Rasulullah SAW akan hadir. Maka merekapun menunggu Rasulullah SAW sembari membaca Al-Qur’an.

Tak lama kemudian Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid dan memerintahkan salah seorang sahabat untuk membaca iqamat. Kemudian beliau menjadi imam dan mempercepat shalatnya. Seusai salam, beliau membaca doa dengan suara keras. Suaranya yang jernih penuh wibawa menggetarkan para jama’ah lalu beliau bersabda, “Tetaplah kalian pada shaf masing-masing”.

Rasulullah SAW lalu mengahadap ke arah jama’ah dengan pandangan yang sejuk. Wajahnya yang putih bersinar menandakan suasana hati yang sedang gembira. Mata beliau yang indah dan tajam menatap jama’ah satu per satu. Para jama’ah tertunduk tidak berani menatap wajah Rasulullah SAW yang agung.

Sejurus kemudian beliau bersabda, “Aku akan memberi tahu kalian apa yang menyebabkan aku terlambat datang. Semalam aku bangun mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat. Dalam shalatku aku tertidur karena kantuk yang amat berat. Ternyata aku bermimpi bersama الله SWT dalam Rupa yang sangat gemilang”.

Setelah diam sejurus, beliau meneruskan sabdanya, “DIA berfirman, ‘”Wahai Muhammad”. Aku menjawab, ;’Labbaika Yaa Rabb”.

”Mengapa para malaikat berselisih ?”

“Hamba tidak tahu”.

Lalu Rasulullah SAW melanjutkan ceritanya, “الله SWT bertanya sampai tiga kali, kulihat DIA meletakkan telapak TanganNYA di atas bahuku, hingga dapat kurasakan dingin Jari-Jari NYA di dadaku. Segala sesuatu nampak jelas di depanku, dan aku mengetahuinya. Lalu DIA berfirman lagi, “’Wahai Muhammad”’.

“Labbaika Yaa Rabb”.

“Tentang apa para malaikat berselisih ?”

Tentang penebus-penebus dosa”.

“Apa penebus-penebus dosa itu ?”

“Langkah menuju kebaikan, duduk di masjid setelah shalat, mengguyurkan air wudhu pada saat-saat tidak disukai”.

“Tentang apa mereka berselisih ?”

“Tentang memberi makan, ucapan yang lemah lembut, shalat malam ketika manusia tertidur nyenyak”.

“Mintalah !”

“Yaa الله sesungguhnya aku mohon kepadaMU taufik untuk mengerjakan hal-hal yang baik, meninggalkan yang munkar, mencintai orang-orang miskin dan agar ENGKAU mengampuniku dan merahmatiku jika ENGKAU hendak menimpakan cobaan”.

Setelah itu RAsulullah SAW membaca sebuah doa pendek yang semalam dipanjatkan kepada الله SWT, “ALLAHUMMA INNY AS-ALUKA HUBBAKA WA HUBBA MAN YUHIBBUKA WA KULLA AMALIN YUQARRIBUNY ILAA HUBBIKA”. (Yaa الله aku mohon kepadaMU kecintaanMu dan kecintaan orang-orang yang mencintaiMU , serta kecintaan kepada amal yang mendekatkan kepada kecintaan kepadaMU )
Kemudian dengan suara yang sangat pelan sementara mata beliau yang sangat mulia berkaca-kaca Rasulullah SAW mengakhiri sabdanya, “ini adalah pelajaran hakikat maka pelajarilah”.

Seri Belajar Membaca Risalatul Qusyairiyah ( 1 )

 

                                                  M.A.L.U

Allah berfirman :

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya الله melihat segala perbuatannya (Al-‘Alaq 14)

Rasulullah SAW bersabda:

“Malu itu sebagian dari iman”.

Suatu hari RAsulullah SAW memberi pelajaran kepada para sahabat :

Malulah kalian pada الله dengan sebenar-benar malu”. 

Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kami telah merasa malu wahai Nabi Alloh. Kami bersyukur dapat berbuat demikian”. 

Beliau bersabda, “Bukan demikian ! akan tetapi orang yang malu pada الله yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya, menjaga perut dan apa yang dihimpunnya, dan ingatlah kalian pada kematian dan bahayanya. Barang siapa menghendaki kampung akhirat maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Barang siapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada الله dengan sebenar-benar malu”.

Ibnu Atha’ mengatakan, “Ilmu terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika segan dan malu telah hilang, maka tida ada kebaikan yang tersisa di dalamnya”.

Abu Utsman mengatakan, “Orang yang berbicara dengan suasana hati yang diliputi rasa malu, tetapi apa yang dibicarakannya tidak di dalam suasana rasa malu karena الله maka dia adalah orang yang menipu”.

Abu Sulaiman Ad-Darani menuturkan bahwa الله berfirman, “Hai Hamba-Ku sesungguhnya engkau tidak malu kepada-Ku padahal Aku telah menjadikan manusia lupa pada aib-aibmu, menjadikan bumi lupa pada dosa-dosamu, menghapus keteledoranmu dari kitab catatan induk dan tidak akan mendebat hasil hitungan (catatan amalmu) pada hari kiyamat”.

Allah memberi wahyu kepada Nabi Isa AS, “Nasihatilah dirimu, jika telah menasehati dirimu maka nasihatilah manusia. Jika tidak malulah kamu kepada-Ku untuk memberi nasihat kepada manusia”.

Malu karena perendahan sebagaimana Nabi Musa AS yang mengatakan, “Sesungguhnya saya butuh sedikit dunia yang membuat saya malu untuk meminta kepada-Mu wahai Tuhan”. الله pun menimpalinya, “Mintalah kepada-Ku hingga adonanmu tergarami dan kambingmu diberi makan”.

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ada lima tanda kesengsaraan yaitu hati yang keras, mata yang beku, sedikit malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan”. Dalam sebagian kitab disebutkan, “tidak ada seorang hambapun yang mencapai separuh hak-Ku. Dia berdoa kepada-Ku dan Saya malu menolaknya. Di bermaksiyat kepada-Ku tetapi tidak malu kepada-Ku”.

Yahya bin Muadz mengatakan, “Barang siapa malu kepada الله dalam keadaan ta’at, maka الله akan malu kepadanya ketika dia melakukan dosa”. Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya malu mengharuskan pencarian”.. dikatakan pula, malu adalah pengerutan hati untuk pengagungan Tuhan. Dikatakan, jika seseorang duduk untuk memberikan peringatan kepada manusia, maka dua malaikat memangggilnya seraya berkata, “Nasihatilah dirimu dengan apa-apa yang kamu nasihatkan kepada kawanmu. Jiak tidak, maka malulah kepada Tuhanmu Yang selalu melihatmu.

Al-Junaid ditanya tentang malu, lalu dijawab,” Memandang buruk dan kurang  terhadap perbuatan baikmu. Diantara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu”

Muhammad Al Washiti berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu seseorang yang merobek ketentuan hukum atau melanggar janji”.

 

 

Diambil dari Kitab  "Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf"

oleh Imam al Qusyairy an Naisabury

Permata Cimahi, 9 January 2011